Selasa, 03 Desember 2013

Psikologi Lintas Budaya

PERBANDINGAN BUDAYA BARAT DAN BUDAYA TIMUR

A.    PERBEDAAN KEBUDAYAAN BARAT DAN KEBUDAYAAN TIMUR
   Kebudayaan Barat adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya dengan cara mamahami ilmu pengtahuan dan filsafat. Mereka melakukan berbagai diskusi dan debat untuk menemukan atau menentukan makna yang sebenarnya dari kesadaran. Mereka banyak belajar dan juga mengajar yang awalnya datang dari proses diskusi dan perdebatan yang mereka lakukan. Melalui proses belajar dan mengajar, para ahli atau master dari kebuyaan tersebut yaitu kebudayaan barat dituntut untuk pandai dalam berceramah dan berdiskusi. Hal itu dilakukan karena para murid akan menilai suatu pencapaian seorang master dalam berceramah dan berdiskusi, dan akhirnya banyak yang akan mengikuti ajarannya.
Sedangkan pada Kebudayaan Timur cara pembinaan kesadarannya adalah dengan cara melakukan berbagai macam pelatihan fisik dan mental. Pelatihan fisik dapat berupa menjaga pola makan dan minum ataupun apa yang dimakan dan diminum, karena hal tersebut dapat berpengaruh besar pada tubuh atau fisik. Sedangkan untuk pelatihan mental dapat berupa kegiatan yang umumnya dilakukan sendiri, seperti : bersemedi, bertapa, berdo’a, beribadah, dan lain lain.
   Dari berbagai latihan tersebut, salah satu atau lebih dari mereka bisa dikatakan atau diberi sebutan master spiritual. Pada umumnya semakin tinggi tingkat pencapaian kemasterannya, maka master spiritual tersebut hanya berpaduan pada kehidupan yang akan dijalankannya di akhirat atau di kehidupan yang akan datang. Master spiritual akan lebih mementingkan kepentingan akhirat dari pada kepentingan duniawi, sehingga akan sedikit murid yang bisa mengerti ajarannya dan akhirnya akan sedikit pula yang akan mengikuti ajarannya. 
   Walau proses dari dua kebudayaan tersebut bebeda, tapi tujuan yang mereka capai sama yaitu untuk mensejahterakan kebudayaan masing-masing. Akan tetapi kelebihan dan kekurangan dari kedua kebudayaan tersebut hanya dapat dirasakan oleh pengikutnya.
   Pada umumnya master kebudayaan timur akan lebih bangga mendapatkan murid dari kebudayaan yang berbeda yaitu dari kebudayaan barat. Hal itu dikarenakan training atau latihan yang diberikan oleh para master kebudayaan barat kepada para muridnya lebih cenderung dengan cara kekerasan. Para murid kebudayaan barat cenderung hanya membanggakan pencapaian dari masternya, akan tetapi pada kenyataannya para murid tidak ingin mengikuti ajaran dari masternya.
Sebaliknya para murid dari kebudayaan timur lebih bisa mengikuti ajaran dari masternya. Karena, pada umumnya para master dari kebudayaan timur cenderung memberi training atau pelatihan pada para muridnya dengan cara yang tidak mengarah pada kekerasan atau test fisik.
   Kebudayaan timur menilai kebudayaan barat adalah kebudayaan yang tidak mementingkan nilai kesopanan dalam berpakaian. Karena, pada umumnya orang-orang atau murid-murid pada kebudayaan barat lebih berani dalam memperlihatkan atau menonjolkan salah satu bagian tubuhnya. Sedangkan mungkin kebudayaan timur lebih dikenal oleh para kebudayaan barat adalah kebudayaan yang kuno. Akan tetapi pada kenyataannya kebudayaan timurlah yang mungkin dinilai lebih sopan atau lebih mementingkan nilai kesopanan.
   Akan tetapi alangkah baiknya bila para master dari kebudayaan timur bisa menerima para murid dari kebudayaan barat tanpa kehilangan jati diri kemasterannya, begitupun sebaliknya. Karena para muridpun akan mengikuti jati diri dari para masternya. Dan pada akhirnya kedua belah pihak kebudayaan dapat menghormati masing-masing perbedaan yang terjadi, serta dapat menjalin hubungan yang harmonis tanpa ada konflik antara kedua kebudayaan.
   Kebudayaan atau budaya menurut Bapak Antropologi Indonesia, Koenjtaraningrat, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pengertian tersebut merujuk pada gagasan J. J Honigmann tentang wujud kebudayaan atau disebut juga ’gejala kebudayaan’. Honigmann membagi kebudayan kedalam tiga wujud, yakni kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda.
Mengacu pada konsep diatas, jika dikembalikan pada realita yang ada di kehidupan bangsa Indonesia, kiranya kita bisa memilah setiap wujud kebudayaan yang ada, minimal dari yang kita temui setiap harinya. Sejalan dengan itu, kemudian akan muncul pertanyaan klasik -”apakah ada yang namanya budaya Indonesia?” Jika Jepang memiliki identitas budaya dalam wujud idenya yang terangkum dalam Bushido (moral samurai) yang berisikan ajaran tentang kejujuran, kerelaan berkorban, kerja keras dsb. Lantas, apakah konsep gotong royong adalah budaya Indonesia? Atau ada istilah lain?
   Ada beberapa budaya besar (bukan dalam konteks baik dan buruk) yang terkait dan selalu dikaitkan dengan kebudayaan Indonesia dalam pencariannya, yakni istilah budaya timur, dominasi sebuah budaya lokal dan pengaruh Islam sebagai agama mayoritas. Pengaitan itu pada dasarnya bukan mengarah kepada pencarian jawaban atas apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional, tetapi lebih cenderung menjadi sesuatu yang dipaksakan sebagai turunan dari kepentingan ideologis, yang kemudian mengatasnamakan integrasi nasional. Namun, ada baiknya jika kita terlebih dahulu analisis ketiganya untuk menguatkan argumentasi kita tentang budaya nasional.

B.     KEBUDAYAAN NASIONAL DAN PENGARUH TIGA BUDAYA
   Budaya timur. Penggolongan barat dan timur banyak mengalami perdebatan secara sosiologis maupun secara politis, budaya timur, yang mana sebagian besar secara demografis adalah wilayah budaya Asia, identik dengan nilai-nilai ’kolot’ hal ini ditenggarai atas perbandingannya dengan budaya barat yang direpresentasikan sebagai budaya modern bahkan posmodern.
   Dari prinsip pengelompokan tersebut, kita tidak sepenuhnya bisa sepakat bahwa Budaya Indonesia adalah sama dengan Budaya Timur, apalagi secara nilai yang terkandung, ada yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan, salah satunya pada nilai budaya timur tentang kesopanan dalam berpakaian, sudut pandang atau budaya dalam wujud ide ini tidak berlaku pada seluruh kelompok budaya di Indonesia. Secara prinsipnya, jika berangkat dari pancasila, UUD 45 ataupun konteks kebangsaan. Budaya Indonesia sekali lagi, tidak sama dengan Budaya Timur.
   Budaya lokal. Maksudnya, budaya nasional merupakan perwujudan dari sebuah budaya lokal yang dianggap memiliki nilai paling luhur, superioritas sebuah budaya kelompok. Jika memang demikian, benturan yang terjadi kembali pada konteks keragaman yang ada. Apakah ada budaya yang paling kuat dalam keragaman budaya di Indonesia yang bisa mengendalikan budaya lainnya? Misalnya Budaya Jawa atau Sunda mengendalikan budaya yang tersebar di Bali, Papua, Aceh, Sulawesi, Kalimantan dll. Tentu saja, kita pun kembali harus mengaca pada cermin pancasila dan konsep pluralisme yang ada dan menjawab tidak.
Budaya Islam. Apakah budaya nasional diambil dari budaya Islam? Karena Islam adalah agama mayoritas. Pertentangan yang muncul adalah pada keragaman agama yang ada di Indonesia. Walaupun semua agama mengandung inti ajaran yang sama yakni kebaikan, akan tetapi pada prakteknya tentu memiliki perbedaan, dan kenyataannya di Indonesia tidak hanya berkembang agama Islam, tapi juga agama Kristen, Hindu, Budha dan kepercayaan lainnya yang juga ada dan dijamin secara hukum. Dan lagi-lagi cermin pancasila dan UUD 45 serta konsep pluralisme mengajak kita untuk bercermin dan mengatakan tidak.
   Jika bukan berangkat atau mengadopsi budaya timur, bukan juga memakai salah satu budaya lokal ataupun menginduk pada budaya Islam, lantas seperti apakah budaya nasional bangsa Indonesia secara umum?
   Untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita artikan apa yang disebut Kebudayaan Indonesia. Dalam kamus Wikipedia, kebudayaan Indonesia didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Pengertian ini diperkuat juga oleh pendapat Wahyudi Ruwiyanto (2002), dimana menurutnya - Visi kebudayaan nasional harus memuat semangat integrasi nasional, karena pada hakekatnya kebudayaan nasional adalah akumulasi dari kebudayaan lokal yang tersebar di Indonesia.
   Jika mengacu pada pengertian diatas, maka jelas bahwa Indonesia bukanlah terdiri dari budaya tunggal (monokultural) akan tetapi terdiri dari banyak budaya (multikultural).

C.    MONOKULTURALISME DAN SETTING KAPITALISME
   Monokulturalisme merupakan sebuah idelogi atau konsep yang memiliki kehendak akan adanya penyatuan kebudayaan (homogentitas). Dalam monokulturalisme, ditandai adanya proses asimilasi, yakni percampuran dua kebudayaan atau lebih untuk membentuk kebudayaan baru. Sebagai sebuah ideologi, monokulturalisme dibeberapa negara dijadikan landasan kebijakan dan atau strategi pemerintah menyangkut kebudayaan dan sistem negara.
   Perkembangan dewasa ini, dimana adanya usaha untuk menciptakan budaya tunggal sebagai identitas budaya Indonesia yang sebagian besar dilakoni oleh media, khususnya televisi dengan setting Jakarta-isme adalah sebuah hal yang bertolak berlakang dengan semangat pluralisme. Kita banyak menemui misalnya di sinetron-sinetron dimana adanya proses monokulturalisme, bahwa yang gaul itu adalah yang ’gue-elo’, bahwa yang ndeso itu yang tidak mengikuti apa yang berkembang di Jakarta. Sentralisme semacam ini mau tidak mau adalah semata-mata hanyalah setting dari kapitalisme untuk mengarahkan agar masyarakat terpolakan pada sistem yang sudah dibangun oleh modal. Semakin homogen masyarakat, maka semakin mudah sebuah produk untuk dipasarkan dengan selera yang sama. Sebaliknya, semakin kompleks atau heterogen masyarakat, maka semakin sulit sebuah produk untuk menyentuh pasar secara holistik.
   Upaya-upaya monokulturalisme yang dicontohkan diatas pada prosesnya bisa mengancam kelangsungan entitas-entitas budaya lokal yang ada. Kecenderungan untuk mengikuti trend yang ditawarkan media dikalangan generasi muda adalah sejalan lurus dengan tawaran ’gaul’ tadi.
   Seorang anak merasa lebih asyik memainkan game perang di playstation dibandingkan bermain permainan tradisional. Seorang ibu akan merasa lebih bermartabat jika berbelanja di mall dibandingkan di pasar tradisional. Seorang ayah merasa hebat jika bisa mengajak anaknya untuk makan hamburger ataupun pizza dibandingkan memberi makanan tradisional. Seorang remaja akan merasa lebih gaul jika menggunakan bahasa gaul ala Jakarta dengan elo-gue-nya dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar apalagi bahasa daerah.
   Kecenderungan-kecenderungan sikap diatas kebanyakan dipengaruhi oleh pola hidup yang ditawarkan oleh setting kapitalisme. Bahwa gaya adalah yang dikedepankan daripada kualitas hidup, tidak peduli bahwa kualitas pakaian di mall tidak berbeda dengan yang dijual di pasar tradisional, tidak peduli bahwa ternyata Hamburger memiliki patogen yang bisa mengancam kesehatan dibanding makanan tradisional seperti serabi ataupun martabak, tidak peduli bahwa game perang dapat mendorong ke arah kriminalitas, tidak peduli bahwa bahwa bahasa gaul itu telah merusak bahasa ibu. Yang lebih berbahaya, ketika ternyata ketidak pedulian ini diakibatkan oleh ketidak tahuan.

D.    MULTIKULTURALISME DAN IDENTITAS BUDAYA NASIONAL
   Integrasi Nasional selalu terkait dengan penyatuan atau pengakomodiran kepentingan dari ragam kelompok didalamnya. Integrasi sendiri menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Budaya dan Masyarakat, adalah masalah sosial yang tidak pernah selesai, selalu menghadapi kekuatan disintegrasi. Adanya konflik kepentingan ini menurut Kuntowijoyo adalah sebuah hal yang alamiah, dimana integrasi tersebut memiliki makna yang berbeda dalam persfektif setiap kelompok budaya, ketika sebuah kelompok berhasil menancapkan persfektifnya terhadap integrasi yang terbentuk, maka Ia mempunyai kecenderungan untuk mempertahankannya, diluar itu kelompok dengan persfektif atau makna lain sebaliknya menginginkan disintegrasi, merasa kepentingannya tidak terakomodir.
   Dominasi dan subordinasi adalah hal yang memang telah berlaku lama di Indonesia, terutama dengan positivistiknya Orde Baru yang menganggap satu kebijakan akan berlaku mutlak bagi semua lapisan bangsa. Hampir, hal ini terulang ketika pada isu pornografi dan pornoaksi belakangan dimana kelompok mayoritas menginginkan terbentuknya UU Anti Pornogafi dan Pornoaksi, yang mana akan mengancam kelangsungan banyak budaya, misalnya kaum adat di Papua yang masih mempertahankan koteka.
   Dalam hal ini ada baiknya kita mengacu pada gagasan Drs. S Sumarsono dkk yang terangkum dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan (2001). Drs. S Sumarsono dkk memandang bahwa solusi untuk mengatasi persoalan integrasi yang melibatkan kompleksnya golongan budaya di Indonesia membutuhkan persamaan persepsi diantara segenap masyarakat mengenai adanya keragamanan tersebut, dan harus dimunculkan semangat untuk membina kehidupan bersama secara harmonis.
   Kesamaan persepsi tersebut dalam pandangan penulis adalah sebuah solusi yang tepat, namun sungguh sulit untuk dicapai, karena hal ini melibatkan pertarungan ego yang sungguh rumit. Ketika kita mengatakan ‘kesamaan persepsi’ maka sebenarnya kita telah melakukan suatu proses yang begitu ‘hebat’ dan melelahkan- meruntuhkan bangunan ego yang berangkat dari sukuisme yang mengakar.
   Konsep tersebut, sesungguhnya sudah bisa terjamin dengan adanya sistem parlementer di Indonesia, dimana sistem keterwakilan rakyat di DPR dan MPR adalah buah dari sistem demokrasi yang sejatinya membawa aspirasi rakyat untuk ikut menentukan nasib negara. Namun, pada prakteknya hal ini belum terlaksana, karena adanya benturan ego dan kepentingan yang kompleks juga, terutama aspek politik dan ekonomi yang cenderung mengalahkan aspek sosio budaya, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya UU sebagai produk dari parlemen yang membahas atau mengatur secara khusus tentang kelangsungan budaya bangsa yang beragam.
   Solusi kedua, seperti yang disinggung diatas adalah membuat regulasi atau UU khusus kebudayaan nasional. Tidak adanya regulasi atau UU kebudayaan selama ini, disinyalir oleh banyak kalangan sebagai salah satu penyebab banyaknya terjadi konflik dimasyarakat yang dilandasi oleh kesalahan tafsir antar kelompok berbeda budaya. Adapun semangat inti, dari regulasi yang menyangkut budaya bangsa itu tentu bukan untuk meleburkan semua budaya menjadi satu (monokulturalisme), tapi lebih kepada arahan tentang pengakuan dan pentingnya pemahaman masyarakat akan aneka ragam budaya, hingga terbentuknya kesadaran pluralisme di masyarakat.
   Solusi lainnya, adalah mengubah bentuk negara dari kesatuan ke federal seperti Amerika dengan adanya negara bagian, dimana setiap wilayah budaya dalam kelompok besar memiliki otonomi yang khusus, hal ini berbeda dengan kondisi sekarang yang juga dengan konsep otonomi namun selalu berbenturan dalam prakteknya, karena posisi pusat masih menjadi sentral yang positivistik. Perubahan sistem negara ini, jika melihat pada kesiapan bangsa kita tentu bukan solusi yang harus dikedepankan, karena nantinya akan cenderung menciptakan disintegrasi yang subur. Amerika Serikat membutuhkan periode sejarah yang panjang untuk menjadi negara yang kuat walaupun terbagi kedalam negara bagian, dan kita tidak punya banyak waktu untuk mengalami periode sejarah yang akan berlangsung dengan konflik yang beragam lagi, yang kita butuhkan adalah maju setahap demi setahap dengan optimisme ditengah arus globalisasi yang mengancam dengan muatan kapitalismenya.
   Adanya regulasi (UU) yang mengatur kehidupan antar budaya adalah salah satu solusi yang penulis nilai paling tepat untuk mengatasi persoalan integrasi nasional, dalam hal ini memberikan pemahaman atas budaya nasional yang harus dimaknai sebagai pemahanan akan pluralitas atau keragaman. Pada intinya budaya nasional mengandung semangat bhineka tunggal ika, walaupun berbeda namun satu jua, yang merupakan cerminan dari prinsip muktikulturalisme.
   Pada dasarnya, multikulturalisme sendiri menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern (Wikipedia). Hal ini berbeda dengan monokulturalisme yang lebih menghendaki kepada adanya kesatuan, yang cenderung homogen, bukan persatuan yang menjadi cermin dari harmonisasi dalam pluralitas. Sila ketiga Pacasila, ”Persatuan Indonesia”, adalah jawaban sebenarnya atas persoalan ’pelik’ mengenai kebudayaan Indonesia.