PERBANDINGAN BUDAYA BARAT DAN BUDAYA TIMUR
A. PERBEDAAN
KEBUDAYAAN BARAT DAN KEBUDAYAAN TIMUR
Kebudayaan Barat
adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya dengan cara mamahami ilmu
pengtahuan dan filsafat. Mereka melakukan berbagai diskusi dan debat untuk
menemukan atau menentukan makna yang sebenarnya dari kesadaran. Mereka banyak
belajar dan juga mengajar yang awalnya datang dari proses diskusi dan
perdebatan yang mereka lakukan. Melalui proses belajar dan mengajar, para ahli
atau master dari kebuyaan tersebut yaitu kebudayaan barat dituntut untuk pandai
dalam berceramah dan berdiskusi. Hal itu dilakukan karena para murid akan
menilai suatu pencapaian seorang master dalam berceramah dan berdiskusi, dan
akhirnya banyak yang akan mengikuti ajarannya.
Sedangkan pada Kebudayaan Timur cara pembinaan kesadarannya
adalah dengan cara melakukan berbagai macam pelatihan fisik dan mental.
Pelatihan fisik dapat berupa menjaga pola makan dan minum ataupun apa yang
dimakan dan diminum, karena hal tersebut dapat berpengaruh besar pada tubuh
atau fisik. Sedangkan untuk pelatihan mental dapat berupa kegiatan yang umumnya
dilakukan sendiri, seperti : bersemedi, bertapa, berdo’a, beribadah, dan lain
lain.
Dari berbagai latihan tersebut, salah satu atau lebih dari
mereka bisa dikatakan atau diberi sebutan master spiritual. Pada umumnya
semakin tinggi tingkat pencapaian kemasterannya, maka master spiritual tersebut
hanya berpaduan pada kehidupan yang akan dijalankannya di akhirat atau di
kehidupan yang akan datang. Master spiritual akan lebih mementingkan
kepentingan akhirat dari pada kepentingan duniawi, sehingga akan sedikit murid
yang bisa mengerti ajarannya dan akhirnya akan sedikit pula yang akan mengikuti
ajarannya.
Walau proses dari dua kebudayaan tersebut bebeda, tapi
tujuan yang mereka capai sama yaitu untuk mensejahterakan kebudayaan
masing-masing. Akan tetapi kelebihan dan kekurangan dari kedua kebudayaan
tersebut hanya dapat dirasakan oleh pengikutnya.
Pada umumnya master kebudayaan timur akan lebih bangga
mendapatkan murid dari kebudayaan yang berbeda yaitu dari kebudayaan barat. Hal
itu dikarenakan training atau latihan yang diberikan oleh para master
kebudayaan barat kepada para muridnya lebih cenderung dengan cara kekerasan.
Para murid kebudayaan barat cenderung hanya membanggakan pencapaian dari
masternya, akan tetapi pada kenyataannya para murid tidak ingin mengikuti
ajaran dari masternya.
Sebaliknya para murid dari kebudayaan timur lebih bisa
mengikuti ajaran dari masternya. Karena, pada umumnya para master dari
kebudayaan timur cenderung memberi training atau pelatihan pada para muridnya
dengan cara yang tidak mengarah pada kekerasan atau test fisik.
Kebudayaan timur menilai kebudayaan barat adalah kebudayaan
yang tidak mementingkan nilai kesopanan dalam berpakaian. Karena, pada umumnya
orang-orang atau murid-murid pada kebudayaan barat lebih berani dalam
memperlihatkan atau menonjolkan salah satu bagian tubuhnya. Sedangkan mungkin
kebudayaan timur lebih dikenal oleh para kebudayaan barat adalah kebudayaan
yang kuno. Akan tetapi pada kenyataannya kebudayaan timurlah yang mungkin
dinilai lebih sopan atau lebih mementingkan nilai kesopanan.
Akan tetapi alangkah baiknya bila para master dari
kebudayaan timur bisa menerima para murid dari kebudayaan barat tanpa
kehilangan jati diri kemasterannya, begitupun sebaliknya. Karena para muridpun
akan mengikuti jati diri dari para masternya. Dan pada akhirnya kedua belah
pihak kebudayaan dapat menghormati masing-masing perbedaan yang terjadi, serta
dapat menjalin hubungan yang harmonis tanpa ada konflik antara kedua
kebudayaan.
Kebudayaan atau budaya menurut Bapak Antropologi Indonesia,
Koenjtaraningrat, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar. Pengertian tersebut merujuk pada gagasan J. J Honigmann tentang
wujud kebudayaan atau disebut juga ’gejala kebudayaan’. Honigmann membagi
kebudayan kedalam tiga wujud, yakni kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan
dan artefak atau benda-benda.
Mengacu pada konsep diatas, jika dikembalikan pada realita
yang ada di kehidupan bangsa Indonesia, kiranya kita bisa memilah setiap wujud
kebudayaan yang ada, minimal dari yang kita temui setiap harinya. Sejalan
dengan itu, kemudian akan muncul pertanyaan klasik -”apakah ada yang namanya
budaya Indonesia?” Jika Jepang memiliki identitas budaya dalam wujud idenya
yang terangkum dalam Bushido (moral samurai) yang berisikan ajaran tentang
kejujuran, kerelaan berkorban, kerja keras dsb. Lantas, apakah konsep gotong
royong adalah budaya Indonesia? Atau ada istilah lain?
Ada beberapa budaya besar (bukan dalam konteks baik dan
buruk) yang terkait dan selalu dikaitkan dengan kebudayaan Indonesia dalam
pencariannya, yakni istilah budaya timur, dominasi sebuah budaya lokal dan
pengaruh Islam sebagai agama mayoritas. Pengaitan itu pada dasarnya bukan
mengarah kepada pencarian jawaban atas apa yang dimaksud dengan kebudayaan
nasional, tetapi lebih cenderung menjadi sesuatu yang dipaksakan sebagai
turunan dari kepentingan ideologis, yang kemudian mengatasnamakan integrasi
nasional. Namun, ada baiknya jika kita terlebih dahulu analisis ketiganya untuk
menguatkan argumentasi kita tentang budaya nasional.
B. KEBUDAYAAN
NASIONAL DAN PENGARUH TIGA BUDAYA
Budaya timur. Penggolongan barat dan timur banyak mengalami
perdebatan secara sosiologis maupun secara politis, budaya timur, yang mana
sebagian besar secara demografis adalah wilayah budaya Asia, identik dengan
nilai-nilai ’kolot’ hal ini ditenggarai atas perbandingannya dengan budaya
barat yang direpresentasikan sebagai budaya modern bahkan posmodern.
Dari prinsip pengelompokan tersebut, kita tidak sepenuhnya
bisa sepakat bahwa Budaya Indonesia adalah sama dengan Budaya Timur, apalagi
secara nilai yang terkandung, ada yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada
dilapangan, salah satunya pada nilai budaya timur tentang kesopanan dalam
berpakaian, sudut pandang atau budaya dalam wujud ide ini tidak berlaku pada
seluruh kelompok budaya di Indonesia. Secara prinsipnya, jika berangkat dari
pancasila, UUD 45 ataupun konteks kebangsaan. Budaya Indonesia sekali lagi,
tidak sama dengan Budaya Timur.
Budaya lokal. Maksudnya, budaya nasional merupakan
perwujudan dari sebuah budaya lokal yang dianggap memiliki nilai paling luhur,
superioritas sebuah budaya kelompok. Jika memang demikian, benturan yang
terjadi kembali pada konteks keragaman yang ada. Apakah ada budaya yang paling
kuat dalam keragaman budaya di Indonesia yang bisa mengendalikan budaya
lainnya? Misalnya Budaya Jawa atau Sunda mengendalikan budaya yang tersebar di
Bali, Papua, Aceh, Sulawesi, Kalimantan dll. Tentu saja, kita pun kembali harus
mengaca pada cermin pancasila dan konsep pluralisme yang ada dan menjawab
tidak.
Budaya Islam. Apakah budaya nasional diambil dari budaya
Islam? Karena Islam adalah agama mayoritas. Pertentangan yang muncul adalah
pada keragaman agama yang ada di Indonesia. Walaupun semua agama mengandung
inti ajaran yang sama yakni kebaikan, akan tetapi pada prakteknya tentu
memiliki perbedaan, dan kenyataannya di Indonesia tidak hanya berkembang agama
Islam, tapi juga agama Kristen, Hindu, Budha dan kepercayaan lainnya yang juga
ada dan dijamin secara hukum. Dan lagi-lagi cermin pancasila dan UUD 45 serta
konsep pluralisme mengajak kita untuk bercermin dan mengatakan tidak.
Jika bukan berangkat atau mengadopsi budaya timur, bukan
juga memakai salah satu budaya lokal ataupun menginduk pada budaya Islam,
lantas seperti apakah budaya nasional bangsa Indonesia secara umum?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita artikan apa yang
disebut Kebudayaan Indonesia. Dalam kamus Wikipedia, kebudayaan Indonesia
didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya
nasional Indonesia pada tahun 1945. Pengertian ini diperkuat juga oleh pendapat
Wahyudi Ruwiyanto (2002), dimana menurutnya - Visi kebudayaan nasional harus
memuat semangat integrasi nasional, karena pada hakekatnya kebudayaan nasional
adalah akumulasi dari kebudayaan lokal yang tersebar di Indonesia.
Jika mengacu pada pengertian diatas, maka jelas bahwa
Indonesia bukanlah terdiri dari budaya tunggal (monokultural) akan tetapi
terdiri dari banyak budaya (multikultural).
C. MONOKULTURALISME
DAN SETTING KAPITALISME
Monokulturalisme merupakan sebuah idelogi atau konsep yang
memiliki kehendak akan adanya penyatuan kebudayaan (homogentitas). Dalam
monokulturalisme, ditandai adanya proses asimilasi, yakni percampuran dua
kebudayaan atau lebih untuk membentuk kebudayaan baru. Sebagai sebuah ideologi,
monokulturalisme dibeberapa negara dijadikan landasan kebijakan dan atau
strategi pemerintah menyangkut kebudayaan dan sistem negara.
Perkembangan dewasa ini, dimana adanya usaha untuk
menciptakan budaya tunggal sebagai identitas budaya Indonesia yang sebagian
besar dilakoni oleh media, khususnya televisi dengan setting Jakarta-isme
adalah sebuah hal yang bertolak berlakang dengan semangat pluralisme. Kita
banyak menemui misalnya di sinetron-sinetron dimana adanya proses
monokulturalisme, bahwa yang gaul itu adalah yang ’gue-elo’, bahwa yang ndeso
itu yang tidak mengikuti apa yang berkembang di Jakarta. Sentralisme semacam
ini mau tidak mau adalah semata-mata hanyalah setting dari kapitalisme untuk
mengarahkan agar masyarakat terpolakan pada sistem yang sudah dibangun oleh modal.
Semakin homogen masyarakat, maka semakin mudah sebuah produk untuk dipasarkan
dengan selera yang sama. Sebaliknya, semakin kompleks atau heterogen
masyarakat, maka semakin sulit sebuah produk untuk menyentuh pasar secara
holistik.
Upaya-upaya monokulturalisme yang dicontohkan diatas pada
prosesnya bisa mengancam kelangsungan entitas-entitas budaya lokal yang ada.
Kecenderungan untuk mengikuti trend yang ditawarkan media dikalangan generasi
muda adalah sejalan lurus dengan tawaran ’gaul’ tadi.
Seorang anak merasa lebih asyik memainkan game perang di
playstation dibandingkan bermain permainan tradisional. Seorang ibu akan merasa
lebih bermartabat jika berbelanja di mall dibandingkan di pasar tradisional.
Seorang ayah merasa hebat jika bisa mengajak anaknya untuk makan hamburger
ataupun pizza dibandingkan memberi makanan tradisional. Seorang remaja akan
merasa lebih gaul jika menggunakan bahasa gaul ala Jakarta dengan elo-gue-nya
dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar apalagi bahasa daerah.
Kecenderungan-kecenderungan sikap diatas kebanyakan
dipengaruhi oleh pola hidup yang ditawarkan oleh setting kapitalisme. Bahwa
gaya adalah yang dikedepankan daripada kualitas hidup, tidak peduli bahwa
kualitas pakaian di mall tidak berbeda dengan yang dijual di pasar tradisional,
tidak peduli bahwa ternyata Hamburger memiliki patogen yang bisa mengancam
kesehatan dibanding makanan tradisional seperti serabi ataupun martabak, tidak
peduli bahwa game perang dapat mendorong ke arah kriminalitas, tidak peduli
bahwa bahwa bahasa gaul itu telah merusak bahasa ibu. Yang lebih berbahaya,
ketika ternyata ketidak pedulian ini diakibatkan oleh ketidak tahuan.
D. MULTIKULTURALISME
DAN IDENTITAS BUDAYA NASIONAL
Integrasi Nasional selalu terkait dengan penyatuan atau
pengakomodiran kepentingan dari ragam kelompok didalamnya. Integrasi sendiri
menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Budaya dan Masyarakat, adalah masalah sosial
yang tidak pernah selesai, selalu menghadapi kekuatan disintegrasi. Adanya
konflik kepentingan ini menurut Kuntowijoyo adalah sebuah hal yang alamiah,
dimana integrasi tersebut memiliki makna yang berbeda dalam persfektif setiap
kelompok budaya, ketika sebuah kelompok berhasil menancapkan persfektifnya
terhadap integrasi yang terbentuk, maka Ia mempunyai kecenderungan untuk
mempertahankannya, diluar itu kelompok dengan persfektif atau makna lain
sebaliknya menginginkan disintegrasi, merasa kepentingannya tidak terakomodir.
Dominasi dan subordinasi adalah hal yang memang telah
berlaku lama di Indonesia, terutama dengan positivistiknya Orde Baru yang
menganggap satu kebijakan akan berlaku mutlak bagi semua lapisan bangsa.
Hampir, hal ini terulang ketika pada isu pornografi dan pornoaksi belakangan
dimana kelompok mayoritas menginginkan terbentuknya UU Anti Pornogafi dan
Pornoaksi, yang mana akan mengancam kelangsungan banyak budaya, misalnya kaum
adat di Papua yang masih mempertahankan koteka.
Dalam hal ini ada baiknya kita mengacu pada gagasan Drs. S
Sumarsono dkk yang terangkum dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan (2001). Drs.
S Sumarsono dkk memandang bahwa solusi untuk mengatasi persoalan integrasi yang
melibatkan kompleksnya golongan budaya di Indonesia membutuhkan persamaan
persepsi diantara segenap masyarakat mengenai adanya keragamanan tersebut, dan
harus dimunculkan semangat untuk membina kehidupan bersama secara harmonis.
Kesamaan persepsi tersebut dalam pandangan penulis adalah
sebuah solusi yang tepat, namun sungguh sulit untuk dicapai, karena hal ini
melibatkan pertarungan ego yang sungguh rumit. Ketika kita mengatakan ‘kesamaan
persepsi’ maka sebenarnya kita telah melakukan suatu proses yang begitu ‘hebat’
dan melelahkan- meruntuhkan bangunan ego yang berangkat dari sukuisme yang
mengakar.
Konsep tersebut, sesungguhnya sudah bisa terjamin dengan
adanya sistem parlementer di Indonesia, dimana sistem keterwakilan rakyat di
DPR dan MPR adalah buah dari sistem demokrasi yang sejatinya membawa aspirasi
rakyat untuk ikut menentukan nasib negara. Namun, pada prakteknya hal ini belum
terlaksana, karena adanya benturan ego dan kepentingan yang kompleks juga,
terutama aspek politik dan ekonomi yang cenderung mengalahkan aspek sosio
budaya, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya UU sebagai produk dari parlemen
yang membahas atau mengatur secara khusus tentang kelangsungan budaya bangsa
yang beragam.
Solusi kedua, seperti yang disinggung diatas adalah membuat
regulasi atau UU khusus kebudayaan nasional. Tidak adanya regulasi atau UU
kebudayaan selama ini, disinyalir oleh banyak kalangan sebagai salah satu
penyebab banyaknya terjadi konflik dimasyarakat yang dilandasi oleh kesalahan
tafsir antar kelompok berbeda budaya. Adapun semangat inti, dari regulasi yang
menyangkut budaya bangsa itu tentu bukan untuk meleburkan semua budaya menjadi
satu (monokulturalisme), tapi lebih kepada arahan tentang pengakuan dan
pentingnya pemahaman masyarakat akan aneka ragam budaya, hingga terbentuknya
kesadaran pluralisme di masyarakat.
Solusi lainnya, adalah mengubah bentuk negara dari kesatuan
ke federal seperti Amerika dengan adanya negara bagian, dimana setiap wilayah
budaya dalam kelompok besar memiliki otonomi yang khusus, hal ini berbeda
dengan kondisi sekarang yang juga dengan konsep otonomi namun selalu
berbenturan dalam prakteknya, karena posisi pusat masih menjadi sentral yang
positivistik. Perubahan sistem negara ini, jika melihat pada kesiapan bangsa
kita tentu bukan solusi yang harus dikedepankan, karena nantinya akan cenderung
menciptakan disintegrasi yang subur. Amerika Serikat membutuhkan periode
sejarah yang panjang untuk menjadi negara yang kuat walaupun terbagi kedalam
negara bagian, dan kita tidak punya banyak waktu untuk mengalami periode
sejarah yang akan berlangsung dengan konflik yang beragam lagi, yang kita
butuhkan adalah maju setahap demi setahap dengan optimisme ditengah arus
globalisasi yang mengancam dengan muatan kapitalismenya.
Adanya regulasi (UU) yang mengatur kehidupan antar budaya
adalah salah satu solusi yang penulis nilai paling tepat untuk mengatasi
persoalan integrasi nasional, dalam hal ini memberikan pemahaman atas budaya
nasional yang harus dimaknai sebagai pemahanan akan pluralitas atau keragaman.
Pada intinya budaya nasional mengandung semangat bhineka tunggal ika, walaupun
berbeda namun satu jua, yang merupakan cerminan dari prinsip muktikulturalisme.
Pada dasarnya, multikulturalisme sendiri menghendaki adanya
persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial
politik yang sama dalam masyarakat modern (Wikipedia). Hal ini berbeda dengan
monokulturalisme yang lebih menghendaki kepada adanya kesatuan, yang cenderung
homogen, bukan persatuan yang menjadi cermin dari harmonisasi dalam pluralitas.
Sila ketiga Pacasila, ”Persatuan Indonesia”, adalah jawaban sebenarnya atas
persoalan ’pelik’ mengenai kebudayaan Indonesia.