kekuasaan
orang-orang yang berada pad pucuk pimpinan suatu organisasi
seperti manajer, direktur, kepala dan sebagainya, memiliki kekuasaan power)
dalam konteks mempengaruhi perilaku orang-orang yang secara struktural
organisator berada di bawahnya. Sebagian pimpinan menggunakan kekuasaan dengan
efektif, sehingga mampu menumbuhkan motivasi bawahan untuk bekerja dan
melaksanakan tugas dengan lebih baik. Namun, sebagian pimpinan lainnya tidak
mampu memakai kekuasaan dengan efektif, sehingga aktivitas untuk melaksanakan
pekerjaan dan tugas tidak dapat dilakukan dengan baik. Oleh karena itu,
sebaiknya kita bahas secara erperinci tentang jenins-jenis kekuasaan yang
sering digunakan dalam suatu organisasi.
Dalam pengertiannya, kekuasaan adalah kualitas yang melekat
dalam satu interaksi antara dua atau lebih individu (a quality inherent in an
interaction between two or more individuals). Jika setiap individu mengadakan
interaksi untuk mempengaruhi tindakan satu sama lain, maka yang muncul dalam
interaksi tersebut adalah pertukaran kekuasaan.
Menurut French dan
Raven, ada lima tipe kekuasaan, yaitu :
Reward power
Tipe kekuasaan ini memusatkan perhatian pada kemampuan untuk
memberi ganjaran atau imbalan atas pekerjaan atau tugas yang dilakukan orang
lain. Kekuasaan ini akan terwujud melalui suatu kejadian atau situasi yang
memungkinkan orang lain menemukan kepuasan. Dalam deskripsi konkrit adalah
‘jika anda dapat menjamin atau memberi kepastian gaji atau jabatan saya
meningkat, anda dapat menggunkan reward power anda kepada saya’. Pernyataan ini
mengandung makna, bahwa seseorang dapat melalukan reward power karena ia mampu
memberi kepuasan kepada orang lain.
Coercive power
Kekuasaan yang bertipe paksaan ini, lebih memusatkan
pandangan kemampuan untuk memberi hukuman kepada orang lain. Tipe koersif ini
berlaku jika bawahan merasakan bahwa atasannya yang mempunyai ‘lisensi’ untuk
menghukum dengan tugas-tugas yang sulit, mencaci maki sampai kekuasaannya
memotong gaji karyawan. Menurut David Lawless, jika tipe kekuasaan yang poersif
ini terlalu banyak digunakan akan membawa kemungkinan bawahan melakukan
tindakan balas dendam atas perlakuan atau hukuman yang dirasakannya tidak adil,
bahkan sangat mungkin bawahan atau karyawan akan meninggalkan pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya.
Referent power
Tipe kekuasaan ini didasarkan pada satu hubungan ‘kesukaan’
atau liking, dalam arti ketika seseorang mengidentifikasi orang lain yang
mempunyai kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya. Dalam uraian
yang lebih konkrit, seorang pimpinan akan mempunyai referensi terhadap para
bawahannya yang mampu melaksanakan pekerjaan dan bertanggung jawab atas
pekerjaan yang diberikan atasannya.
Expert power
Kekuasaa yang berdasar pada keahlian ini, memfokuskan
diripada suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan, pastilah ia
memiliki pengetahuan, keahlian dan informasi yang lebih banyak dalam suatu
persoalan. Seorang atasan akan dianggap memiliki expert power tentang pemecahan
suatu persoalan tertentu, kalau bawahannya selalu berkonsultasi dengan pimpinan
tersebut dan menerima jalan pemecahan yang diberikan pimpinan. Inilah indikasi
dari munculnya expert power.
Legitimate power
Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang sebenarnya (actual
power), ketika seseorang melalui suatu persetujuan dan kesepakatan diberi hak
untuk mengatur dan menentukan perilaku orang lain dalam suatu organisasi. Tipe
kekuasaan ini bersandar pada struktur social suatu organisasi, dan terutama
pada nilai-nilai cultural. Dalam contoh yang nyata, jika seseorang dianggap
lebih tua, memiliki senioritas dalam organisasi, maka orang lain setuju untuk
mengizinkan orang tersebut melaksanakan kekuasaan yang sudah dilegitimasi
tersebut.
makalahnya yang berpengaruh, On the Concept of Power
menurutnya kekuasaan digambarkan seperti A mempunyai kekuasaan terhadap B
sejauh ia bias menyebabkan B melakukan sesuatu yang B sendiri tidak bias
berbuat lain, (dalam Roderick Martin: 71).
Menurut French dan Raven
Psikolog sosial Michigan, French dan Raven menggunakan
definisi yang sama dalam membahas teori lapangannya Lewin mengenai kekuasaan.
Menurutnya kekuasaan “adalah kemampuan potensial dari seseorang atau sekelompok
orang untuk mempengaruhi yang lainnya didalam system yang ada”, (dalam Roderick
Martin: 71). Tetapi penghalusan terhadap konsep Weber yang kini tampaknya
paling menonjol disodorkan oleh Dahrendorf dan Blau. Merekalah yang berhasil
menembus kelemahan tertentu yang ada pada teori-teori Weber, sebagaimana yang
tampak umumnya pada pengembangan pendekatan Weber. French dan Raven
mendefinisikan kekuasaan berdasarkan pada pengaruh; dan pengaruh berdasarkan
pada pengubahan psikologis. Pengaruh adalah pengendalian yang dilakukan oleh
seseorang dalam organisasi maupun dalam masyarakat terhadap orang lain. Konsep
penting atas dasar gagasan ini adalah bahwa kekuasaan merupakan pengaruh
laten (terpendam), sedangkan pengaruh merupakan kekuasaan dalam kenyataan yang
direalisasikan.
French dan Raven
mengidentifikasikan lima sumber basis kekuasaan, yaitu :
1.
KEKUASAAN BALAS JASA (REWARD POWER)
Karyawan yang menerima reward
power berarti mendapatkan suatu kuasa yang positif dan meyebabkan perubahan dan
tingkah laku seseorang.
2.
KEKUASAAN PAKSAAN (COERCIVE POWER)
Biasanya
pemimpin yang seperti ini selalu bergantung pada kekeuatan fiskal dan mental
yang ada padanya, dan pemimpin yang mengamalkan kuasa ini tidak menghargai
keupayaan sebenar yang ada pada kakitangannya.
Kuasa yang sah timbul dari
persepsi individu terhadap sesuatu arahan yang diberikan
4.
KEKUASAAN AHLI (EXPERT POWER)
Kuasa ini timbul apabila A
mempunyai sumber dari segi kepakaran, kemahiran dan pengetahuan yang tinggi
dari pandangan B. Maka apa yang diberikan dan diharapkan oleh A ke atas B akan
dituruti dengan mudahnya. Kuasa pakar di peroleh oleh mereka yang mempunyai
pengetahuan atau kemahiran dalam bidang-bidang tertentu contohnya guru
matematika mahir dalam bidangnya dan kemungkinan besar tidak mahir dalam bidang
lain seperti mata pelajaran geografi.
5.
KEKUASAAN PANUTAN (REFERENT POWER)
Pemimpin dijadikan sebagai
rujukan atau contoh kepada pengikut kerana mempunyai kualiti, karisma dan
reputasi yang baik. Apabila dikaitkan dengan karisma, Weber menyatakan ia
bukannya bersifat ketuhanan tetapi kualitas luar biasa pada sifatnya yang
dipenuhi dengan tenaga, keyakinan, wawasan masyarakat akan datang.
Setelah secara blak-blakan mendukung definisi Weber,
kemudian Dahrendorf mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah milik kelompok, milik
individu-individu daripada milik struktur sosial”, (dalam Roderick Martin: 71).
Perbedaan yang penting adalah kekuasaan dengan otoritas terletak pada kenyataan
bahwa kalau kekuasaan pada hakekatnya diletakan pada kepribadian individu, maka
otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peranan sosial-kekuasaan, selalu
merupakan suatu hubungan yang faktual, sedangkan otoritas merupakan suatu
hubungan yang logis.
Perumusan yang menghilangkan wujud hubungan kekuasaan yang
tidak terstruktur atau yang terjadi secara berulang-ulang ini merupakan sumber
utama yang memunculkan konflik sosial.
Daftar Pustaka
Sarwono, Sarlito W. 2005. Psikologi Sosial (Psikologi
Kelompok dan Psikologi Terapan). Balai Pustaka, Jakarta.
http://fisip.uns.ac.id/blog/rahayu/2011/01/07/konsep-konsep-kekuasaan/
Leavitt,
J.H., 1992 Psikologi Manajemen, Alih Bahasa Zarkasi, M., Jakarta: Penerbit
Erlangga
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya
Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar